MOTTO
Hari Ini Harus Lebih Baik Dari Hari Kemarin
Dan
Hari Esok Adalah Harapan
PERSEMBAHAN
Karya ini ku
persembahkan kepada:
1.
Ayahku tercinta Gregorius Geon dan
Ibunda Cornelia Dia yang selalu memberi dukungan demi menggapai keberhasilan
ku.
2.
Jurusan Pendidikan Sejarah sebagai
tempat memperoleh bekal pendidikan.
3.
Almamater
tercinta Universitas Nusa Cendana.
4.
Teman-teman
seperjuanganku Angkatan Tahun 2007.
5.
Motivatorku
Hedwig Jarut.
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini, yang merupakan salah satu
syarat guna meraih gelar sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana. Untuk memenuhi syarat
tersebut, penulis mengambil sebuah judul yaitu: Upacara Nongko Gejur Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Kolang di Desa Tueng
Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat.
Upacara nongko gejur merupakan suatu upacara
yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku Kolang pada saat sebelum memanen.
Upacara ini dilaksanakan sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta)
dan Empo (para leluhur) atas segala
penyertaan dalam segala usaha masyarakat khususnya di bidang pertanian dan
perkebunan, sehingga padi dan jagung siap untuk dipanen.
Setiap upacara adat yang
biasa dilaksanakan oleh masyarakat manggarai khususnya masyarakat suku Kolang,
disiapkan hewan kurban, tidak terkecuali dalam upacara nongko gejur. Hewan kurban di sini merupakan sebuah simbol
penghargaan kepada Tuhan Sang Pencipta dan para leluhur yang tidak kelihatan
wujudnya.
Dalam upacara nongko gejur, terkandung salah satu
nilai yang sangat penting yakni menghargai Sang Pencipta, leluhur dan sesama.
Sebagai salah satu anggota dari masyarakat suku Kolang dan pewaris kebudayaan
tersebut, maka penulis menghargai campur tangan orang-orang dalam penyelesaian
skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1.
Pimpinan
dan civitas Akademika Universitas Nusa Cendana.
2.
Pimpinan
dan civitas Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana.
3.
Ketua Jurusan dan segenap jajaran dosen
di Jurusan Pendidikan Sejarah.
4.
Drs. M. Taneo, M.Si selaku Pembimbing I
dan Drs. Andreas Ande, M.Si selaku Pembimbing II.
5.
Rekan-rekan
seperjuanganku Angkatan Tahun 2007.
Kupang, Juni 2011
Penulis
ABSTRAK
Penelitian
ini berjudul: “Upacara Nongko Gejur
Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Kolang di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten
Manggarai Barat”. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tentang proses pelaksanaan upacara nongko gejur dan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara nongko gejur. Dalam penelitian ini,
sumber data yang digunakan adalah sumber data primer yakni data yang diperoleh
dari informan melalui proses wawancara dan sumber data sekunder yakni data yang
diperoleh dari hasil observasi. Penentuan informan dilakukan dengan cara snowball sampling, sehingga yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah tua adat, tokoh masyarakat, dan masyarakat
biasa, dengan kriteria penentuan informan yakni berusia 50 tahun ke atas,
memiliki pengetahuan atau pengalaman tentang upacara, sehat jasmani dan rohani,
serta dapat dipercaya karena memberikan data yang obyektif. Teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan upacara nongko gejur terdiri dari beberapa tahapan upacara, antara lain:
tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan penutup atau akhir upacara. Pada tahap
persiapan, dilaksanakan musyawarah untuk menentukan pemimpin upacara serta hewan yang akan dikurbankan dalam
upacara. Selanjutnya pada tahap pelaksanaan upacara, beberapa rangkaian acara dilaksanakan mulai
dari ndereh, tabar wini, dan panen serta cara pengolahannya. Pada tahap akhir
atau sebagai penutup dari upacara nongko
gejur, dilaksanakan beberapa acara seperti acara mut numpung dan pelong latung
serta diakhiri dengan acara peresmian untuk makan beras pertama. Upacara nongko gejur yang biasa dilaksanakan
mengandung nilai-nilai yang sangat penting seperti nilai pendidikan, nilai
kekeluargaan, nilai gotong royong, nilai spiritual, nilai normatif, dan nilai
demokrasi.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat
Manggarai merupakan masyarakat agraris, hal ini ditandai dengan kehidupan
masyarakat yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan bertani dan berkebun.
Sehingga tidak heran kalau daerah Manggarai terkenal dengan hasil-hasil
pertanian dan perkebunan seperti padi, jagung, kopi, cengkeh, kemiri dan
sebagainya. Selain bertani dan berkebun, masyarakat Manggarai juga hidup
beternak. Hewan ternak tersebut antara lain babi, ayam, kambing, kerbau, sapi
dan sebagainya.
Tidak
terlepas dari kehidupan masyarakat Manggarai yang hidup dengan bercocok tanam,
maka dikenal upacara-upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai, diantaranya: upacara adat lingko (upacara untuk membuka kebun baru), upacara nongko gejur (upacara yang dilaksanakan sebelum memanen) dan upacara penti (upacara/syukuran kepada Mori Jari Dedek/Tuhan Sang Pencipta dan
arwah para leluhur).
Corak
religius masyarakat Manggarai
tetap terkait erat dengan norma dan jenis upacara adat serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Upacara-upacara adat yang biasa dilaksanakan oleh
masyarakat Manggarai merupakan rangkaian kehidupan atau bagian dari kehidupan
masyarakat; karenanya semua upacara itu selain sebagai upacara-upacara adat
tetapi juga berfungsi sebagai pendidikan masyarakat, karena upacara-upacara
yang dimaksud diharapkan dapat dilakukan secara turun-temurun.
Salah satu
warisan leluhur yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Manggarai
adalah upacara adat nongko gejur. Upacara nongko gejur merupakan sebuah upacara yang
biasa dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai untuk mensyukuri atas segala
berkat yang telah diberikan Mori Jari
Dedek (Tuhan Sang Pencipta) atas tanaman padi yang telah siap untuk di
panen, sehingga telah tiba saatnya untuk memetik hasil-hasil pertanian
tersebut.
Seiring
perkembangan zaman, tanda-tanda erosi cenderung muncul karena nilai-nilai itu
harus mampu mereplikasi perubahan, jika tidak beberapa sub sistem nilai-nilai
itu akan beradaptasi dengan perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena kehidupan manusia sangat dipengaruhi lingkungan. Sebagai contoh adalah
sebagai berikut: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mulai mempengaruhi
pola pikir masyarakat Manggarai; di mana semakin suburnya nilai egoisme diri
atau kelompok tertentu sehingga merenggangnya nilai-nilai kebersamaan dalam
kehidupan masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang di Desa Tueng
Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat. Demikian pula halnya dalam upacara
adat nongko gejur, masyarakat jarang melaksanakan upacara tersebut,
sehingga tidaklah heran jika upacara adat nongko
gejur dari generasi ke generasi jarang dilaksanakan oleh masyarakat
Manggarai khususnya masyarakat Suku Kolang di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten
Manggarai Barat.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis ingin melakukan penelitian tentang pelaksanaan upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku
Kolang di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah
proses pelaksanaan upacara nongko gejur
dalam kehidupan masyarakat suku Kolang di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten
Manggarai Barat?
2. Nilai-nilai apakah yang terkandung dalam
upacara nongko gejur?
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan
Yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan
upacara nongko gejur dalam kehidupan
masyarakat suku Kolang di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat.
b. Untuk mengetahui nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara nongko gejur.
2.
Kegunaan
Adapun kegunaan dari
penelitian ini adalah:
a. Dengan penelitian ini, diharapkan
masyarakat Manggarai, khusunya masyarakat suku Kolang di Desa Tueng Kecamatan
Kuwus Kabupaten Manggarai Barat sadar akan pentingnya upacara nongko gejur dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
b. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak
yang ingin mengetahui dan memperdalam pengetahuan tentang upacara adat nongko gejur.
c. Memperkaya khasanah budaya lokal daerah
Manggarai.
D.
Tinjauan Pustaka
Budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Jadi, kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya
itu (Koentjaraningrat,1981:80).
Kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur
oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat ramai, kebudayaan sering
diartikan sebagai the general body of the
arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, ilmu
pengetahuan dan filsafat, atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia (Harsojo,1999:93).
Setelah kita melihat definisi kebudayaan di atas, maka kita akan temukan
inti pengertian kebudayaan dalam pokok-pokok berikut ini: (1) bahwa kebudayaan
yang terdapat antara umat manusia itu beraneka ragam, (2) kebudayaan itu
didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran, (3) kebudayaan itu
terjabarkan dari komponen biologi, psikologis dan sosiologis dari eksistensi
manusia, (4) kebudayaan itu berstruktur, (5) kebudayaan itu terbagi dalam
beberapa aspek, (6) kebudayaan itu dinamis, (7) nilai dalam kebudayaan itu
relatif (Harsojo,1999:94).
Kebudayaan
adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Patty,2000:71).
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan
yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya mencakupi segala
cara-cara dan pola berfikir, merasakan dan bertindak (Taylor dalam
Soekanto,1990:40)
Kebudayaan
bisa berarti sistem pengetahuan yang dipertukarkan oleh sejumlah orang dalam
sebuah kelompok yang besar. Kebudayaan itu sebenarnya segala sesuatu yang
dimiliki bersama oleh seluruh atau sebagian anggota kelompok sosial (Edward
dalam Liliweri,2003:20)
Kebudayaan
merupakan semua hasil karya, rasa dan
cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmani yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai
alam sekitarnya agar kekuatan dan hasilnya dapat diartikan untuk keperluan
masyarakat (Linton,1984:28).
Kebudayaan
merupakan suatu produk (identitas) yang pembentukannya dipengaruhi keseluruhan
proses sosial. Oleh karena itu kebudayaan merupakan suatu yang dikonstruksikan
secara sosial sehingga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan agen sosial
yang terlibat sebagai budaya diferensial, suatu kebudayaan didapatkan dalam
serangkaian jaringan yang dinamis yang mana proses negosiasi terjadi secara
intensif dalam proses konstruksinya (Daeng,2005:52).
Ilmu antropologi membagi tiap-tiap
kebudayaan ke dalam beberapa unsur yang besar, yang disebut culture universal. Istilah universal itu menunjukkan bahwa
unsur-unsur itu bersifat universal, artinya ada dan bisa didapatkan di dalam
semua kebudayaan dari semua bangsa di manapun juga di dunia. Tujuh unsur
kebudayaan sebagai culture universal
yang bisa didapatkan pada semua bangsa di dunia ialah: (1) peralatan dan
perlengkapan hidup manusia, (2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi, (3) sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem
pengatahuan, (6) religi (Koentjaraningrat,1974:81).
Kebudayaan
itu memiliki 3 wujud yakni: Wujud
pertama adalah wujud ideal dari
kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya berada
dalam alam pikiran masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut adat
tata kelakuan, atau secara singkat adat
dalam arti khusus, atau adat istiadat
dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata
kelakuan itu, bermaksud menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya
juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi
arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud
kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dari
detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian
aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto dan didokumentasi. Wujud ketiga
dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, karena berupa seluruh total hasil
fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka
sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat dan difoto. Ketiga wujud kebudayaan yang terurai di atas, dalam
kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain.
Kebudayaan ideal dengan masyarakat, mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia, menghasilkan
benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,
bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya (Koentjaraningrat,1974:15).
Pada
hakekatnya unsur kebudayaan yang disebut religi adalah amat kompleks, dan
berkembang atas berbagai tempat di dunia. Bagaimanakah untuk pertama kali
timbul aktivitet keagamaan itu dalam masyarakat manusia, hanya
bisa menjadi obyek dari berbagai macam spekulasi, tetapi mungkin tak pernah
akan dapat diketahui dengan sebenarnya. Sungguhpun demikian, kalau kita tinjau
bentuk religi dari banyak suku bangsa di dunia, maka akan tampak adanya empat
unsur pokok dari religi pada umumnya, ialah: (a) emosi keagamaan atau getaran
jiwa yang menyababkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan; (b) sistem
kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam
gaib, hidup, maut, dan sebagainya; (c) sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari
hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan; (d) kelompok
keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan
religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya (Koentjaraningrat,1992:239).
Masyarakat adalah setiap
kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka
dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Dalam waktu yang cukup lama,
kelompok manusia seperti yang dimaksudkan di atas, yang belum terorganisasikan,
mengalami proses yang fundamental yaitu: (1) adaptasi dan organisasi dari
tingkah laku para anggota, (2) timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok.
Proses itu biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota
kelompok dalam suasana trial and error.
Yang dimaksud dengan kelompok (group)
adalah setiap pengumpulan manusia sosial yang mengadakan relasi sosial antara
yang satu dengan yang lain
(Harsojo,1999:126).
Dunia gaib bisa dihadapi
manusia dengan berbagai macam perasaan, ialah cinta, hormat, bakti, tetapi juga
takut, ngeri, dan sebagainya; atau dengan suatu campuran dari berbagai macam
perasaan tadi. Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan
berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Kelakuan
keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku disebut upacara
keagamaan atau religious ceremonies, atau rites.
Tiap upacara keagamaan dapat terbagi ke dalam empat komponen, ialah: (a) tempat
upacara, (b) saat upacara, (c) benda-benda dan alat upacara, (d) orang-orang
yang melakukan dan memimpin upacara. Karena upacara keagamaan selalu merupakan suatu perbuatan
yang keramat, maka tempat-tempat di mana upacara dilakuakan, benda-benda yang merupakan
alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara juga
dianggap sebagai tempat, saat, benda-benda, dan orang-orang yang keramat
(Koentjaraningrat,1992:252).
Dalam rangka sistem budaya dari tiap kebudayaan ada
serangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup
dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat, mengenai apa yang
harus dianggap penting dan bernilai dalam hidup. Dengan demikian, maka sistem
nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala
tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem
tata tindakan yang lebih tinggi dari pada sistem-sistem tata tindakan yang lain,
seperti sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan
sopan-santun, dan sebagainya (Koentjaraningrat,1990:77).
Soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup
manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit
lima hal, yaitu: (1) soal human nature
atau makna hidup manusia; (2) soal man-nature
atau soal makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) soal time atau persepsi manusia mengenai
waktu; (4) soal activity atau soal
makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; (5) soal relational atau hubungan manusia dengan
sesama manusia. Secara teknikal, kelima masalah tersebut sering disebut value orientations atau “orientasi nilai
budaya”. (Kluckhohn dan strodtbeck dalam Koentjaraningrat,1990:78)
Upacara adat
yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat Manggarai dapat dikelompokkan
menjadi 5, ialah: (1) upacara adat yang berhubungan dengan manusia itu sendiri,
seperti adat kelahiran dan kedewasaan (perkawinan); (2) upacara adat yang berhubungan
dengan kematian, khususnya pada saat kematian, penguburan dan pesta kenduri;
(3) upacara adat yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, terutama sebelum
atau pada waktu musim tanam dan pada waktu memanen hasilnya; (4) upacara adat
yang berhubungan dengan pesta adat tahun baru yang dilaksanakan setiap musim
panen; (5) upacara adat yang berhubungan dengan pembangunan rumah adat
(Dagur,1997:88).
Suku bangsa
merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem
interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas
dan rasa identitas yang mempersatukan
semua anggota serta memiliki sistem
kepemimpinan sendiri (Koenjaraningrat dalam Hidayah, 1997:56).
E. Metode Penelitian
1.
Lokasi
Penelitian.
Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat.
Penentuan lokasi ini atas pertimbangan bahwa di Desa Tueng biasa dilaksanakan upacara nongko gejur dan secara sosial maupun budaya, peneliti mengenal
masyarakat setempat. Dengan demikian maka sangat memudahkan peneliti
dalam memperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian.
2.
Penentuan
Informan.
Informan
adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang kondisi latar
penelitian, jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian
(Moleong,2008:90). Dalam penelitian ini, penentuan informan dilakukan dengan
cara snowball sampling yaitu peneliti
menentukan informan kunci untuk diwawancarai, dengan pertimbangan bahwa
informan yang dipilih berusia 50 tahun ke atas, memiliki pengetahuan atau
pengalaman tentang upacara, sehat jasmani dan rohani, serta dapat dipercayai
karena memberikan data yang obyektif. Selanjutnya peneliti mewawancara informan
berikutnya atas petunjuk dari informan pertama. Oleh karena itu yang menjadi
informan kunci dalam penelitian ini adalah tua adat pada suku Kolang di Desa
Tueng Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat.
3. Sumber Data
Ada dua (2) sumber data dalam penulisan ini, yaitu
:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang
diambil langsung dari sumbernya tanpa perantara atau juga dapat dikatakan
sebagai data yang diperoleh dari kesaksian seseorang dengan mata kepala sendiri
sebagai orang yang mengetahui tentang obyek dan masalah penulisan (Margono,
2005). Dalam penelitian ini, data diperoleh dari informan (sumber data
primer) melalui proses wawancara. Data
yang diambil langsung dari sumbernya adalah tentang pelaksanaan, pelaku,
perlengkapan, atribut yang digunakan serta nilai-nilai dari upacara nongko gejur.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh
dari siapapun yang bukan merupakan saksi yang terlibat yakni yang dapat
memberikan keterangan atau data pelengkap sebagai bahan pembanding (Margono, 2005).
Selain data yang diperoleh langsung dari sumbernya, peneliti juga menggunakan kepustakaan
sebagai bahan acuan tentang teori maupun informasi yang relevan dengan
pelaksanaan upacara nongko gejur.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara
(interview) adalah alat pengumpul informasi dengan
cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan
pula (Margono,2005:165). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu
jenis wawancara yaitu wawancara berstruktur. Di mana peneliti memberikan
pertanyaan kepada informan dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah
disediakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Untuk memudahkan peneliti dalam proses wawancara, maka disiapkan
alat bantu berupa alat tulis dan buku catatan.
b. Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian (Margono,2005:158). Obyek yang diteliti meliputi
pelaksanaan upacara nongko gejur,
pelaku, perlengkapan, serta atribut yang digunakan dalam pelaksanaan upacara nongko
gejur. Teknik observasi dilakukan dengan cara mencatat masalah yang
dilihat, diungkapkan dan didengar oleh peneliti selama berada di lokasi
penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2008:335), analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga mudah dipahami oleh penulis
maupun orang lain. Hasil analisis akan dideskripsikan secara naratif tetapi
tetap memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah seperti rasional, obyektif,
sistematis dan komfrehensif.
Setelah proses wawancara dan observasi dilaksanakan, data
tersebut digabungkan dan dipilah data yang diperlukan. Setelah proses tersebut,
peneliti kembali kepada informan untuk mereduksi data. Data yang telah
direduksi tersebut merupakan data mentah yang kemudian disusun kembali sesuai
dengan struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar, setelah itu peneliti
membuat laporan hasil penelitian.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
1.
Letak dan
Luas
Desa Tueng
merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kuwus, Kabupaten
Manggarai Barat. Desa Tueng terletak di sebelah Barat Ibu Kota Kecamatan dan
dari Ibu Kota Kabupaten terletak di sebelah Tenggara. Letak Desa Tueng berada pada ketinggian 900
meter di atas permukaan laut. Secara administrasi, Desa Tueng terdiri dari 4 dusun yaitu: Dusun Ngalo,
Dusun Lakang, Dusun Longos, dan Dusun Wajur. Dengan luas wilayahnya adalah 2416
ha/m², yang sebagian besar dari wilayah tersebut dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian dan perkebunan. Desa Tueng memiliki batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Golo Lajang dan Desa Golo Riwu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Golo Lewe dan Desa Kolang
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kolang dan Desa Compang Kules
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Golo Lajang dan Desa Golo Lewe
2.
Topografi
Berdasarkan
topografi, Wilayah Desa Tueng pada umumnya berbukit-bukit, dengan tingkat
kemiringan tanah berkisar antara 45°
- 90°. Dengan topografi
yang demikian, maka sebagian besar masyarakat Desa Tueng hidup dengan bertani
dan berkebun, dengan lahan pertanian dan perkebunan yang dibuat menggunakan sistem
irigasi dan terasering.
3.
Keadaan
Tanah
Tanah di wilayah Manggarai
pada umumnya dan khususnya wilayah Desa Tueng tergolong ke dalam jenis tanah
yang cocok untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Tanah tersebut berwarna
merah bercampur kuning dengan jenis tanah adalah lempung.
4.
Iklim
Iklim merupakan keadaan cuaca rata-rata pada suatu
daerah dalam waktu yang relatif lama. Wilayah Desa Tueng umumnya beriklim
tropis yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim
hujan berkisar antara bulan Oktober
sampai bulan Mei dan musim kemarau berkisar antara bulan Juni
hingga bulan September. Jadi
bulan basah berlangsung selama 8 bulan dan bulan kering selama
4 bulan. Iklim suatu tempat
atau daerah dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara jumlah curah hujan
dalam bulan kering dengan jumlah curah hujan dalam jangka waktu tertentu. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa di Desa Tueng berlaku iklim sedang atau
tropis.
5.
Keadaan
Hidrologi
Di Desa Tueng terdapat uma
lodok (tanah adat atau tanah ulayat). Bentuk uma lodok tersebut mencerminkan betapa kuatnya hubungan kekerabatan
masyarakat suku Kolang di Desa Tueng; seperti yang dikatakan oleh Tadeus Ragang
(57:17 Mei 2011: tokoh masyarakat), “pang
olo ngaung muhi, lodok one lingko’n pe’ang”. Artinya: “di kampung, rumah
adat sebagai pusat atau tempat berkumpulnya warga sekampung , di kebun lodok sebagai pusat dan lingko adalah batas terluar dari kebun”.
Maksudnya: mbaru gendang (rumah adat) memiliki tempat yang sama dengan lodok (pusat kebun) dan warga kampung
memiliki tempat yang sama dengan lingko
(batas terluar kebun). Perlu di ingat antara kampung dan kebun memiliki kaitan
yang sangat erat, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yoseph Bang (69: 10 Mei
2011, tua adat) bahwa “gendang one lingko
pe’ang”, artinya: “rumah adat di dalam dan kebun di luar”.
Diantara kebun masyarakat di Desa Tueng, dialiri oleh sungai
Limbung. Dari sungai inilah masyarakat Desa Tueng mengairi sawah maupun
perkebunan mereka. Dari sungai tersebut dibuat saluran irigasi, hal ini
dilakukan secara bergotong royong sehingga digunakan pula secara
bersama-sama. Selain mengandalkan sungai
Limbung, masyarakat Desa Tueng juga mengandalkan air yang berasal dari
bendungan (Cikdam) Ndara loho, selain itu juga banyak terdapat mata air yang
ada di kawasan Desa Tueng. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat
Desa Tueng menggunakan air yang berasal dari mata air dan sumur yang berada
tidak jauh dari perkampungan.
B. Keadaan Sosial Ekonomi
1.
Sejarah
Penduduk
Pada mulanya suku
Kolang mendiami sebuah tempat yang bernama Nder Laho. Sebab musabab suku Kolang
berada di Desa Tueng adalah: pada waktu itu terjadilah hubungan perkawinan
antara suku Kolang dan suku Suka yakni antara seorang pria yang bernama Jangga
dari Kolang dan seorang wanita dari Suka yang bernama Umbur. Setelah menikah, mereka
tinggal di Nder Laho. Umbur sering kembali ke Suka untuk menjenguk sanak
keluarganya, tetapi saat Umbur pergi ke Suka, ia menceritakan bahwa orang Nder
Laho menjelekkan nama orang suka. Sekembalinya Umbur dari Suka, ia juga
menceritakan nama orang-orang Suka
kepada orang-orang Nder Laho. Umbur mengadu domba orang suka dan kolang.
Karena hal ini
maka timbullah percekcokan antara orang suka dan orang Nder Laho. Baik orang
Suka maupun orang Nder Laho, telah mengetahui bahwa yang menjadi penyebab
pertikaian ini adalah Umbur. Tapi orang Nder Laho tidak mengadili Umbur karena
dia sudah menjadi bagian dari keluarga Nder Laho. Lain halnya dengan yang
dilakukan oleh orang Suka. Langkah pertama yang dilakukan orang suka adalah
membunuh saudari mereka sendiri yakni Umbur, karena menurut mereka dialah
penyebab pertikaian tersebut. Setelah membunuh Umbur, orang suka menyerang Nder
Laho karena ditantang oleh orang Nder Laho yakni Wajang. Terjadilah pertikaian
antara Suka dan Nder Laho. Wajang adalah seorang yang sakti mandraguna, kebal
terhadap api dan besi. Dalam pertempuran, Wajang sanggup menahan gempurang dari
orang Suka. Tak sedikitpun serangan-serangan dari orang Suka yang berhasil
membunuh atau melukainya.
Walaupun demikian, karena
orang Suka membagi serangan mereka menjadi dua bagian, yakni sebagiannya
menghadapi Wajang dan sebagiannya menghancurkan kampung Nder Laho. Usaha orang
suka berhasil, mereka berhasil membakar kampung Nder Laho, sehingga warga kampung
Nder Laho sebagian lari ke suatu daerah yang bernama Kolang, Tueng, dan sebagiannya
lagi lari ke suatu daerah yang bernama Daleng. Orang Nder Laho yang lari ke
Tueng kemudian menetap dan membuka kebun di sana. Pada tahun 1939 (pada masa
perang dunia II), daerah Tueng menjadi salah satu sasaran pemboman jepang. Pemukiman
maupun lahan perkebun dari orang Nder Laho di Tueng hancur. Oleh karena itu,
masyarakat lari ke Ngalo (sekarang Dusun Ngalo), menetap dan membuka kebun di
sana hingga sekarang.
Bagan
1.
Bagan Silsilah Suku Kolang
Sumber: Hasil Olahan Penulis 2011
Bagan 1 di atas menjelaskan tentang silsilah suku Kolang pada umumnya.
Berdasarkan penjelasan Yoseph Bang (69: 10 Mei 2011, tua adat), setelah kampung
Nder Laho diserang oleh suku Suka, masyarakat suku Kolang yang menetap di Nder
Laho lari dan berpencar ke beberapa daerah antara lain: daerah Tueng, daerah
Kolang, dan daerah Daleng. Suku Kolang yang mendiami daerah Tueng adalah
keluarga Jangkal dan keluarga Banja (Ngabal); suku Kolang yang mendiami daerah
Kolang adalah keluarga Banja (Rapet) dan keluarga Jangga; dan suku Kolang yang
mendiami daerah Daleng adalah keluarga Antol.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kita dapat mengetahui sejarah suku
Kolang di Kabupaten Manggarai Barat yang walaupun mereka berada di beberapa
daerah, tetapi pada mulanya berasal dari satu nenek moyang dan satu daerah.
2.
Jumlah
Penduduk
Penduduk merupakan sejumlah orang yang menempati suatu
wilayah dan berinteraksi serta berinterdependensi satu sama lain. Berdasarkan
data yang diperoleh dari lokasi penelitian, jumlah penduduk di Desa Tueng pada
tahun 2010 adalah 1887 jiwa. Persebaran penduduk di Desa Tueng berdasarkan
dusun dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Distribusi Penduduk Setiap Dusun di Desa Tueng Tahun 2010
No
|
Nama Dusun
|
Jumlah Penduduk
|
Persentase (%)
|
1.
|
Dusun Lakang
|
361 jiwa
|
19,13
|
2.
|
Dusun Ngalo
|
559 jiwa
|
29,62
|
3.
|
Dusun Longos
|
326 jiwa
|
19,18
|
4
|
DusunWajur
|
641 jiwa
|
33,96
|
Jumlah
|
1887 jiwa
|
100
|
Berdasarkan tabel 1 di
atas, maka dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk setiap dusun di Desa Tueng
adalah sebagai berikut: Dusun Lakang 361 jiwa, Dusun Ngalo 559 Jiwa, Dusun Longos
326 jiwa, Dusun Wajur 641 jiwa. Berdasarkan penjelasan di atas, jumlah penduduk
yang paling banyak terdapat di Dusun Wajur yaitu 641 jiwa. Faktor yang
mempengaruhi lebih banyaknya penduduk di Dusun Wajur antara lain sebagai
berikut: a) terdapat gedung sekolah, dari tingkat SD, SMP, sampai tingkat SMA;
b) akses jalan yang baik; c) karena letaknya yang strategis, maka orang mulai
berdatangan dan menetap serta berwirausaha.
3.
Komposisi
Penduduk
a)
Komposisi Penduduk
Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Penduduk Desa Tueng
terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 931
jiwa dan perempuan berjumlah 956 jiwa. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada tabel 2 berikut ini:
Tabel
2.
Komposisi
Penduduk Setiap Dusun Menurut Jenis Kelamin
di
Desa Tueng Tahun 2010
No
|
Dusun
|
L
|
%
|
P
|
%
|
Jumlah Jiwa
|
%
|
Jumlah KK
|
1
|
Dusun Lakang
|
178
|
9,43
|
183
|
9,69
|
361
|
19,13
|
86
|
2
|
Dusun Ngalo
|
267
|
14,14
|
292
|
15,47
|
559
|
29,62
|
112
|
3
|
Dusun Longos
|
171
|
9,06
|
155
|
8,21
|
326
|
19,18
|
64
|
4
|
Dusun Wajur
|
315
|
16,69
|
326
|
17,27
|
641
|
33,96
|
152
|
Jumlah
|
931
|
49,33
|
956
|
50,66
|
1887
|
100
|
414
|
Sumber: Kantor Desa Tueng Tahun 2011
Berdasarkan tabel
di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari
jumlah penduduk laki-laki, yakni perempuan sebanyak 956 jiwa dan laki-laki 931
jiwa. Faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah: a) angka kelahiran bayi
perempuan lebih besar dari pada bayi laki-laki; b) banyaknya laki-laki yang
merantau atau mencari pekerjaan di luar daerah.
b)
Komposisi Penduduk
Menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan
merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), sehingga
diharapkan dapat mengembangkan suatu kepribadian yang mandiri karena mempunyai
kemampuan, baik kemampuan di sekolah maupun ketika berada di luar sekolah atau
masyarakat. Pada tabel berikut ini dijelaskan mengenai komposisi penduduk di
Desa Tueng berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Di Desa Tueng Tahun 2010
No.
|
Tingkat Pendidikan
|
Jumlah
|
Presentase (%)
|
1
|
Tidak/belum sekolah
|
362
|
19,18
|
2
|
Belum tamat SD
|
352
|
18,65
|
3
|
Tamat SD
|
675
|
35,77
|
4
|
SLTP
|
209
|
11,07
|
5
|
SLTA
|
224
|
11,87
|
6
|
Diploma I/II
|
26
|
1,37
|
7
|
Akademi/Diploma III
|
23
|
1,21
|
8
|
Diploma IV/Strata 1
|
16
|
0,84
|
Jumlah
|
1887
|
100
|
Dari
data di atas, dapat disimpulkan bahwa
dari tingkat pendidikan, masyarakat di Desa Tueng masih berada di bawah
rata-rata, dengan jumlah masyarakat dari yang tidak atau belum sekolah sebanyak
362 orang, belum tamat SD sebanyak 352 orang, dan tamat SD sebanyak 675 orang.
Jika
dihitung, maka jumlah penduduk yang berpendidikan di bawah rata-rata sebanyak
1389 orang. Jadi jumlah penduduk yang berpendidikan cukup hanya sebanyak 498
orang.
c)
Komposisi Penduduk
Menurut Agama
Menurut Bagul
(1997:36), religi asli masyarakat Manggarai adalah “monotheis implisit”, sebab
dasar religinya menyembah Tuhan Maha Pencipta (Mori Jari Dedek). Masyarakat Manggarai biasanya memberikan
sesajian atau persembahan di compang
(altar kampung) dan juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dianggap
angker dan suci. Masyarakat Manggarai tidak pernah melupakan roh-roh orang yang
telah meninggal, sehingga persembahan diberikan juga kepada nenek moyang. Hal
ini dilakukan karena masyarakat Manggarai tetap merasa tak terpisahkan dengan
nenek moyangnya, sehingga rohnya tetap dihormati.
Karena pengaruh
belum mengertinya secara sempurna tentang hubungannya dengan Tuhan, maka
wajarlah kalau pengaruh perasaan takut sakit, takut mala petaka, takut tidak
berhasil dalam usaha pertaniannya, maka merekapun menganggap bahwa gangguan itu
semua berasal dari roh yang jahat, sehingga perlu disembah agar tidak
mengganggu manusia.
Dengan adanya
peristiwa sejarah seperti adanya kolonisasi oleh bangsa-bangsa Barat, hubungan
perdagangan kuno dan hubungan antar Nusa, maka turut membawa pengaruh terhadap
kepercayaan atau religi masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang.
Adanya pengaruh tersebut sama sekali tidak melunturkan religi asli masyarakat
Manggarai, melainkan karena adanya kemiripan dengan religi asli masyarakat
Manggarai maka pengaruh tersebut diterima.
Dengan masuknya agama
modern, maka masyarakat manggarai khusunya masyarakat suku Kolang menganut
beberapa ajaran agama. Untuk lebih jelasnya, maka penulis melampirkan tabel
keadaan keagamaan di Desa Tueng, yakni sebagai berikut:
Tabel
3.
Persebaran
Penduduk Desa Tueng Menurut Agama
Tahun
2010
No
|
Agama
|
Jumlah
|
Presentase (%)
|
1
|
Kristen Katolik
|
1885
|
99,89
|
2
|
Kristen Protestan
|
-
|
-
|
3
|
Islam
|
2
|
0,10
|
4
|
Hindu
|
-
|
-
|
5
|
Budha
|
-
|
-
|
Jumlah
|
1887
|
100
|
Sumber: Kantor Desa Tueng Tahun 2011
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa
Tueng menganut ajaran agama Katholik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa daerah
Flores pernah diduduki oleh bangsa Portugis; seperti yang kita ketahui, tujuan
utama kedatangan para penjajah adalah untuk mencari kejayaan, kekuasaan dan
menyebarkan agama. Oleh karena itu, maka pada umumnya masyarakat Pulau Flores
menganut ajaran agama katolik, tidak terkecuali masyarakat Desa Tueng.
d)
Komposisi Penduduk
Menurut Mata Pencaharian
Aktivitas perekonomian atau mata
pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai khususnya
masyarakat suku Kolang di Desa Tueng. Bahkan sepanjang usia peradaban yang
dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan
mencari nafkah atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama
dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem
pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Seperti diketahui,
masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun
temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Selain
tanaman padi dan jagung, hasil-hasil perkebunan lainnya seperti kopi, cengkeh,
kemiri, dan coklat, mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang
Manggarai. Di samping mengerjakan sawah dan berkebun orang Manggarai juga
terkenal handal dalam beternak kerbau, kambing, babi, dan ayam.
Selain
bermatapencaharian sebagai petani dan peternak, juga terdapat beberapa orang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti tenaga medis dan guru. Orang-orang yang
berprofesi sebagai tenaga medis dan guru, juga memiliki kegiatan sampingan
seperti mengurus atau mengolah kebun dan beternak.
Tabel 4
Distribusi Penduduk Menurut Mata
Pencaharian
di
Desa Tueng Tahun 2010
No.
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah
|
Presentase (%)
|
1
|
Petani
|
1065
|
56,43
|
2
|
Pegawai
|
62
|
3,28
|
3
|
Wiraswasta
|
25
|
1,32
|
4
|
Pelajar
|
575
|
30,47
|
5
|
Mahasiswa
|
60
|
3,17
|
Jumlah
|
1887
|
100
|
Sumber: Kantor Desa Tueng Tahun 2011
Dari tabel di
atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Desa Tueng
bermatapencaharian sebagai petani. Hal ini disebabkan karena kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan kondisi ekonomi masyarakat
yang pas-pasan saja, sehingga banyak masyarakat yang mencari nafkah dengan
mengandalkan fisik, pengalaman dan pengetahuan dasar seperti beternak, bertani
dan bercocok tanam.
C. Keadaan Sosial Budaya
Secara filosofis
kehidupan manusia diatur oleh pelbagai nilai, baik yang berwujud material
maupun rohaniah. Oleh karena adanya hasrat untuk senantiasa hidup dan tertib, maka
masyarakat itu sendiri merumuskan, mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai
yang merupakan konsepsi abstrak. Konsepsi nilai-nilai yang baik untuk dianuti
dan hal-hal yang buruk untuk dihindari. Nilai-nilai yang dimaksud sangat besar
fungsinya bagi keteraturan dan kedamaian hidup bersama (Bustan,2005:23).
Tradisi nenek moyang
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang penuh dengan nuansa
filosofis, baik menyangkut hal-hal yang berada dalam dunia nyata maupun hal-hal
yang berada dalam dunia cita-cita.
Dalam kehidupan
masyarakat suku Kolang, secara umum kebudayaan asli masyarakatnya itu masih nampak.
Hal ini tetap dipertahankan oleh tua-tua adat dan masyarakat adat dengan cara
mangadakan musyawarah-musyawarah dan kegiatan-kegiatan adat seperti adanya
sanksi adat, upacara adat kelahiran, upacara adat kematian, upacara adat
perkawinan, upacara adat dalam bercocok tanam, upacara adat dalam pembangunan
rumah dan upacara adat dalam menyelesaikan konflik.
D. Keadaan Pemerintahan
1.
Pemerintahan
Adat
Dalam kehidupan
masyarakat Manggarai, khususnya masyarakat suku Kolang di Desa Tueng, dikenal
beberapa orang atau jabatan yang bertugas untuk mengatur kehidupan masyarakat
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan adat. Adapun struktur pemerintahan adat di
Desa Tueng antara lain:
a.
Tua Gendang.
Sebagai perangkat upacara adat, yang mengepalai rumah adat
dan berhak atas gong dan gendang adalah tua
gendang. Apabila ada urusan musyawarah, maka musyawarah senantiasa
dilaksanakan di rumah adat (mbaru
gendang) dan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan serta kelancarannya;
termasuk yang berhak mengatur boleh tidaknya gong dibunyikan.
Orang yang menjadi tua
gendang atau tua tembong adalah
yang dipandang bijaksana. Urusan gendang ini juga sangat erat atau terkait
dengan kebun komunal (lingko) yang
dikenal dengan prinsip “gendang one
lingko pe’ang”, karena gendang (lingko)
itu diakui sah menurut adat, yang ditandai dengan adanya tua tembong yang bertanggung jawab secara adat dalam pembukaan
kebun dimaksud.
b.
Tua Golo.
Kampung (beo atau Golo) adalah pola hidup yang menetap pada suatu tempat pemukiman.
Dalam sebuah kampung biasanya terdiri dari sebuah suku dan lazim disebut ata ngara tana (pemilik tanah). Suku
yang membentuk kampung itulah yang berhak atas tanah di wilayah tersebut yang
luasnya relatif, karena sesuai dengan kekuatan merambah hutan untuk membuka
kebun (lingko).
Orang yang menjadi
tua golo berdasarkan musyawarah,
adalah dari keturunan yang tertua dari suku tersebut dan berlaku secara
turun-temurun. Tugas atau fungsi dari tua
golo adalah mengatur tata kehidupan masyarakat kampung dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Dalam urusan pemerintahan, tua golo yang melanjutkan atau membantu kepala kampung untuk
tugas-tugas tertentu antara lain seperti menyelesaikan sengketa dan
kegiatan-kegiatan sosial.
c.
Tua Teno.
Tua teno adalah orang yang bertugas
untuk melaksanakan teknis dalam pembukaan kebun (lingko). Tua teno ditunjuk
oleh anggota klen (tua panga) yang
dipandang mampu dan bijak untuk mengatur kepentingan bersama dalam pembukaan
kebun serta semua urusan adat yang berpautan dengan kebun (lingko) tersebut.
Tua teno dapat melaksanakan fungsinya
stelah mendapat restu dari tua tembong,
yang dimusyawarahkan di rumah adat. Apabila disetujui oleh tua tembong, maka diperintahkan seseorang untuk memukul gong
memanggil warga kampung untuk memusyawarahkan penentuan tempat pembukaan kebun (lingko).
2.
Pemerintahan
Desa
Desa Tueng memiliki Struktur
Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa dengan masa jabatan selama
5 Tahun. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris Desa dan
Kepala Urusan. Desa Tueng terdiri dari 4 Dusun, yang masing-masing dusun dipimpin
oleh seorang Kepala Dusun. Di Desa Tueng terdapat suatu badan yang bernama
Badan Perwakilan Desa (BPD) yang bertugas untuk mengontrol jalannya roda
pemerintahan desa.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A.
Proses Pelaksanaan
Upacara Nongko Gejur.
1.
Arti Upacara
Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur merupakan suatu upacara
yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku
Kolang pada saat padi mau mengetam atau akan dipanen. Upacara nongko gejur ini dilaksanakan sebagai
tanda terima kasih kepada Mori Jari Dedek
(Tuhan Sang Pencipta) atas segala sesuatu yang telah diberikan-Nya, khususnya
hasil jerih payah masyarakat di bidang pertanian maupun perkebunan dan juga
sebagai ucapan terima kasih atas kesehatan bagi orang-orang yang merawat
tanaman tersebut (Borgias Bero, 65: 11 Mei 2011, tokoh masyarakat).
Menurut Daniel
Tunti (51: 13 Mei 2011, masyarakat biasa), upacara nongko gejur oleh masyarakat suku Kolang harus dilaksanakan,
apabila upacara ini tidak dilaksanakan maka dipercaya bahwa akan ditimpa mala
petaka seperti penyakit. Dalam upacara nongko
gejur, masyarakat memberikan sesajian kepada arwah para leluhur. Hal ini
bukan berarti bahwa masyarakat Manggarai, khususnya masyarakat suku Kolang
menyembah berhala, tetapi dipercaya oleh masyarakat suku Kolang bahwa arwah
para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal yang tempatnya paling dekat
dengan Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat suku Kolang berdoa dan mengurbankan
hewan atau sesajian kepada Tuhan melalui para leluhur sebelum mengerjakan kebun
atau dengan kata lain masyarakat suku Kolang menyampaikan ujud atau permohonan
mereka kepada Tuhan melalui perantara para leluhur atau orang-orang yang telah
meninggal.
Menurut Yoseph
Bang (69: 15 Mei 2011, tua adat), masyarakat suku Kolang memberi sesajian
kepada Tuhan melalui para leluhur karena ingin agar semua doa, permohonan dan
permintaan mereka didengar oleh Tuhan; maksudnya adalah semua doa yang
disampaikan oleh masyarakat suku Kolang itu menggunakan bahasa adat, sehingga
para arwah leluhurlah yang dipercaya berada di dekat Tuhan yang menterjemahkan
doa-doa tersebut.
Dari pemaparan di
atas tentang pemberian sesajian, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang
upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku Kolang yakni
2.
Sejarah Upacara
Nongko Gejur.
Menurut Tadeus
Ragang (57: 17 Mei 2011, tokoh masyarakat), meyangkut sejarah upacara nongko gejur itu tidak ada pembatasan
waktu yang pasti. Tetapi masyarakat suku Kolang yakin dan tahu bahwa upacara nongko gejur ini sudah ada sejak
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang mengenal tentang cara
bercocok tanam. Jadi oleh para leluhur masyarakat suku Kolang, upacara nongko gejur telah dilaksanakan secara
turun temurun.
Alasan yang
mendasar sehingga tidak diketahui secara pasti tentang sejarah upacara nongko gejur yakni: sebelum manusia
mengenal sistem perhitungan waktu yang pasti dan teknologi seperti jam,
kalender, dan lain-lain, maka untuk memulai suatu kegiatan hanya mengandalkan
atau berpatokan pada gejala-gejala alam. Sebagai contoh: nenek moyang
masyarakat Manggarai biasanya akan memulai kegiatan menanam tergantung pada
peristiwa terjadinya bulan sabit. Sedangkan zaman sekarang, peristiwa-peristiwa
yang dilakukan oleh manusia dapat didokumentasi dan diarsipkan.
Upacara nongko gejur diwariskan oleh para
leluhur masyarakat suku Kolang, sehingga biasa dilaksanakan oleh masyarakat
manggarai, khususnya masyarakat suku Kolang secara turun temurun hingga
sekarang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa upacara nongko gejur selain sebagai suatu upacara melainkan juga sebagai
pendidikan masyarat.
3.
Tujuan Dilaksanakannya
Upacara Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur merupakan budaya asli
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang yang memiliki tujuan
pertama dan terutama yakni tujuan religius, karena tujuan tersebut berkaitan
dengan penyembahan dan penghormatan terhadap Tuhan Sang Pencipta (Mori Jari Dedek), roh leluhur (ende agu ma), dan roh alam (ata pele sina), yang diyakini sebagai
kekuatan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan kebertahanan
hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat.
Apabila kita
mencermati doa (tudak) dalam
pelaksanaan upacara nongko gejur,
maka akan tampak dua tujuan yang saling terkait dengan kebudayaan masyarakat
Manggarai khususnya masyarakat suku Kolangsebagai kebudayaan induknya. Tujuan pertama adalah menyampaikan ucapan
syukur dan terima kasih kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemilik alam semesta,
roh leluhur, dan roh alam, atas segala berkat, rahmat, dan perlindungan yang
sudah diberikan tersebut selama musim sebelumnya. Tujuan kedua adalah memohon kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar
pada musim tanam yang akan datang, selalu diberi berkat, rahmat, dan
perlindungan berupa kesejahteraan jiwani dan ragawi yang baik.
4.
Sasaran
Upacara Nongko Gejur.
Sesuai dengan
beberapa tujuan yang dijelaskan di atas, sasaran yang ingin dicapai melalui
pelaksanaan upacara nongko gejur
adalah sebagai berikut: (1) Pemulihan dan mempertahankan hubungan dengan Tuhan,
roh leluhur, dan roh alam agar tetap selaras demi pencapaian kesejahteraan
hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat; (2) Pemulihan dan mempertahankan
hubungan sosial kemasyarakatan yang selaras, yang nampak dari sikap dan perilaku
verbal dan nonverbal yang mereka tampilkan setiap hari terhadap sesama.
Terkait dengan
sasaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa upacara nongko gejur merupakan penghubung atau perantara dalam realitas
sosial budaya masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, baik
hubungannya dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam maupun hubungannya dengan
sesama manusia.
5.
Pelaksanaan Upacara
Nongko Gejur.
Dalam
pelaksanaannya, upacara nongko gejur
dibagi ke dalam beberapa tahapan antara lain:
a. Tahap Persiapan
Sebelum upacara nongko gejur
dilaksanakan, maka ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh masyarakat,
diantaranya:
1)
Musyawarah
Dalam kehidupan masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang,
sebelum melaksanakan suatu upacara adat yang melibatkan seluruh warga kampung
atau suku, maka perlu dilaksanakan musyawarah untuk menyukseskan upacara adat
tersebut.
Musyawarah adat pada masyarakat suku Kolang biasanya dipimpin oleh Tua Tembong (orang yang menguasai
penggunaan gong dan gendang dalam rumah adat) dan diikuti oleh Tua Teno (orang yang memiliki peran
dalam upacara yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan) serta seluruh
warga kampung atau suku. Dalam musyawarah tersebut, biasanya hal-hal yang
disepakati antara lain: menentukan pemimpin upacara, hewan yang akan
dikurbankan, dan persembahan lainnya.
2)
Menyiapkan Hewan Kurban
Dalam pelaksanaan upacara nongko
gejur, biasanya hewan yang dijadikan sebagai kurban antara lain: babi
jantan dan ayam jantan. Pada dasarnya pemilihan hewan kurban dalam setiap
upacara adat khusunya upacara nongko
gejur pada masyarakat suku Kolang memiliki makna seperti:
a. Babi jantan; dipilih babi jantan sebagai hewan kurban
karena menurut kepercayaan masyarakat Manggarai bahwa “jantan” melambangkan
keperkasaan dan keuletan dalam mengolah kebun. “Jantan” di sini menunjukkan
jati diri seorang laki-laki yang menjadi kunci atau penggerak utama dalam
mengolah kebun, sehingga wajib dipersembahkan kepada Tuhan Sang Pencipta (Mori Jari Dedek) dan arwah para leluhur
seekor hewan yang terbaik sebagai suatu bukti nyata bahwa segala permohonan dan
ucapan terima kasih disampaikan dengan tulus.
b. Ayam jantan; sebelum masyarakat Manggarai mengenal
teknologi, maka untuk mengetahui waktu akan dimulainya suatu kegiatan itu
tergantung pada alam seperti: terjadinya bulan sabit sebagai pertanda bahwa
musim tanam akan dimulai, jika mata hari akan terbenam maka kegiatan di kebun
harus dihentikan, ayam berkokok sebagai pertanda bahwa hari sudah pagi. Menurut
kepercayaan masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, ayam jantan
adalah hewan yang diciptakan Tuhan untuk mengingatkan manusia agar menyiapkan
peralatan dan bergegas ke kebun.
Ayam jantan sebagai hewan kurban dalam setiap upacara adat masyarakat
Manggarai khususnya dalam upacara nongko
gejur juga merupakan petunjuk akan baik atau buruknya hasil panen pada
musim berikutnya. Bagian dari ayam kurban yang biasa digunakan sebagai petunjuk
adalah empedu dan usus.
Ayam jantan yang dikurbankan dalam upacara nongko gejur ada beberapa jenis (sesuai dengan warna bulu ayam),
antara lain: (1) Manuk lalong bakok
(ayam jantan berbulu putih); putih melambangkan kesucian atau bersih. Jadi
maksud dikurbankan ayam jantan berbulu putih adalah ketulusan dalam
menyampaikan segala doa dan permohonan. (2) Manuk
lalong sepang (ayam jantan berbulu campuran coklat, merah, dan hitam);
biasanya dikurbankan dengan maksud bahwa warna bulu ayam ini sesuai dengan
warna tanah sehingga sering digunakan pada upacara yang berkaitan dengan
pertanian dan perkebunan. (3) Manuk lalong
raci (ayam jantan berbulu campuran hitam dan putih); dikurbankan ayam
jantan berbulu campuran hitam dan putih adalah warna putih melambangkan
kesucian atau bersih, sedangkan warna hitam melambangkan kegelapan atau dosa.
Jadi maksudnya adalah memohon kepada Tuhan agar senantiasa mengampuni segala
dosa yang telah diperbuat sehingga tidak berdampak buruk pada hasil pertanian
dan perkebunan.
3)
Persiapan Persembahan Lainnya
Selain hewan kurban, dalam upacara nongko
gejur disiapkan juga sesajian seperti sirih pinang dan sebutir telur ayam
kampung. Sesajian ini ditujukan atau dipersembahkan khusus kepada arwah para
leluhur dengan tujuan mengundang para leluhur untuk bersama-sama hadir dalam
upacara adat yang akan dilaksanakan oleh warga. Sirih pinang biasanya
dikonsumsi oleh orang tua masyarakat Manggarai, sehingga digunakan sebagai
suatu bentuk sapaan sebelum menyampaikan permohonan. Sedangkan telur ayam
kampung digunakan sebagai pengganti tuak dan juga merupakan suatu bentuk sapaan
sebelum menyampaikan permohonan. Dengan demikian sirih pinang dan telur ayam
kampung berfungsi sebagai perantara komunikasi antara manusia dan arwah para
leluhur.
b. Tahap Pelaksanaan
Upacara nongko gejur
merupakan suatu upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai
khususnya masyarakat suku Kolang pada saat padi mau mengetam atau akan dipanen.
Upacara nongko gejur ini dilaksanakan
sebagai tanda terima kasih kepada Mori
Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) atas segala sesuatu yang telah
diberikan-Nya, khususnya hasil jerih payah masyarakat di bidang pertanian
maupun perkebunan dan juga sebagai ucapan terima kasih atas kesehatan bagi
orang-orang yang merawat tanaman tersebut.
Upacara nongko gejur adalah sebuah paket upacara yang
memiliki urutan sebagai berikut:
a)
Ndereh
artinya: padi telah masak (padi telah siap untuk dipanen). Jadi yang
dimaksudkan dengan ndereh adalah: upacara yang dilakukan oleh masyarakat
Manggarai, khususnya masyarakat suku Kolang sebagai ucapan terima kasih kepada
Tuhan, atas keberhasilan dari tanaman padi tersebut, atas kesehatan dari padi
tersebut sehingga padi telah siap untuk dipanen. Acara ini dipimpin oleh tua
teno dan dilakukan di lodok (pusat
kebun) bersama-sama dengan warga suku.
Dalam upacara ini, tua
teno memegang seekor ayam jantan berwarna campuran hitam dan putih (manuk lalong raci) sambil mengucapkan
doa (tudak) sebagai berikut:
“Ho lami manuk latang Ite Mori, ai jaga’s
lite gejur gami. Ho kudut nongko lami ga”.
Artinya:
“Ini seekor
ayam kami kurbankan kepada-Mu Tuhan, karena Engkau telah menjaga jerih payah
kami ini. Sekarang kami hendak memungut hasil usaha kami”.
Setelah doa (tudak) diucapkan,
ayam tersebut disembelih. Setelah dibakar, diambil hati dan bagian dada dari
ayam tersebut untuk dipersembahkan kepada para leluhur. Menurut kepercayaan
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, bagian hati dan dada
merupakan bagian inti. Maksudnya adalah mempersembahkan yang terbaik kepada
Tuhan atau para leluhur.
b)
Tabar wini; tabar wini adalah upacara yang
dilaksanakan untuk memanggil arwah dari padi, jagung dan tanaman lainnya yang
di makan binatang. Upacara ini dilakukan di batas terluar kebun (one sini) pada saat hendak memanen,
yang dipimpin oleh tua teno dengan
mengucapkan doa (tudak) sebagai
berikut:
“Ho’o lami manuk
latang ite Mori, tegi gami pereng mai taung ata ba le lawo, kode, motang. Ai ho
lami te nongko gejur gami ga”.
Artinya:
“Inilah seekor ayam kurbankan kepadamu Tuan Kami
meminta agar kembalilah yang telah di bawa tikus, kera, babi hutan. Karena
inilah saatnya kami memungut hasil jerih payah kami”.
Setelah doa (tudak) diucapkan,
ayam tersebut disembelih. Setelah dibakar, diambil hati dan bagian dada dari
ayam tersebut untuk dipersembahkan kepada para leluhur. Menurut kepercayaan
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, bagian hati dan dada
merupakan bagian inti. Maksudnya adalah mempersembahkan yang terbaik kepada
Tuhan atau para leluhur.
Upacara ini dilakukan secara perorangan di kebun mereka
masing-masing. Dipimpin oleh kepala keluarga (ayah) dan hewan kurbannya adalah
ayam jantan ayam jantan berbulu campuran coklat, merah, dan hitam (manuk lalong sepang).
c) Memanen padi dan proses
pengolahannya.
1)
Ako woja; ako artinya: petik dan woja artinya: padi. Jadi ako woja adalah memetik padi atau
memanen padi. Setiap perkerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai,
selalu dilakukan secara bergotong royong. Tidak berbeda pula pada saat memanen.
Sebelum memanen, pemilik kebun yang hendak dipanen mendatangi beberapa orang
untuk diajak bekerja bersama-sama di kebun yakni untuk memotong padi. Sebagai
upah atau untuk menghargai jasa
orang-orang tersebut, biasanya mereka ditawari untuk dibagikan beras
dari hasil panen atau dalam bentuk lain seperti uang. Selain hal tersebut di
atas, dikenal juga sistem dodo
(bekerja bergilir) yakni setelah memanen di kebun salah seorang warga, maka
selanjutnya akan memanen di kebun warga lainnya yang ikut dalam proses memanen
sejak awal. Begitu pun dilanjutkan seterusnya sampai semua kebun dari peserta
dodo tersebut selesai dikerjakan.
2) Nenseng; artinya: memindahkan padi. Padi
yang telah dipotong disimpan di keranjang (roto)
yang digendong oleh masing-masing orang. Setelah keranjang (roto) tersebut penuh, maka padi yang telah dipotong dimasukkan ke
dalam karung dan dibawa ke tempat yang telah ditentukan untuk diproses lebih
lanjut. Roto adalah sebuah keranjang
yang biasa digunakan oleh masyarakat manggarai sebagai tempayan untuk menyimpan
barang saat bepergian, khususnya saat ke kebun. Berat dari roto
relatif ringan sehingga mudah untuk di bawa kemana-mana. Roto terbuat dari irisan kulit bambu kecil yang dikeringkan
kemudian dianyam sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah keranjang yang disebut
roto.
3)
Bobol woja; bobol
berarti: pukul dan woja berarti:
padi, jadi bobol woja adalah memukul
padi. Padi yang telah dikumpul, kemudian dipukul menggunakan dua buah kayu
berukuruan sedang dan tidak terlalu panjang, kedua kaki orang yang memukul padi
juga diayunkan agar batang padi tercecer atau tidak mengumpul. Maksudnya
agar bulir padi terpisah dari tangkainya.
4)
Rik Woja; rik berarti: menginjak atau mengucak
menggunakan kaki dan woja berarti:
padi, jadi rik woja adalah: menginjak
padi. Setelah padi di pukul, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
menginjak-injak atau megucak-ngucak batang padi tersebut menggunakan kaki. Cara
ini dilakukan dengan maksud agar padi yang masih ada pada batang padi dapat
rontok atau lebih bersih lagi,
5)
Kekah; adalah
proses akhir untuk memisahkan bulir padi dari batangnya. Hal ini dilakukan
dengan cara mengayun-ayunkan atau menganginkan padi yang telah diinjak agar
bulir padi dapat jatuh, dan langkah selanjutnya adalah membuang batang padi
yang sudah diayunkan tersebut. Setelah proses tersebut, maka langkah
selanjutnya adalah membersihkan sisa-sisa batang padi atau daun padi yang
terdapat pada bulir padi (kotoran-kotoran kasar).
6)
Teter; adalah
suatu proses yang dilakukan dengan cara menganginkan padi agar kotoran-kotoran
halus atau serbuk-surbuk dari batang dan daun padi dapat terpisah dari bulir
padi. Proses ini biasanya mengandalkan bantuan angin, yakni dengan cara
menjatuhkan bulir padi secara perlahan-lahan, agar saat angin berhembus maka
kotoran atau serbuk tadi dapat terbawa angin. Apabila anginnya kurang kencang,
maka yang melakukan proses ini terdiri dari dua orang, yakni yang seorang
bertugas untuk menjatuhkan bulir padi dan seperti biasa mengambil tempat yang
lebih tinggi dan yang seorangnya lagi bertugas untuk menganginkan bulir padi
yang jatuh dengan menggunakan nyiru. Setelah bulir padi bersih dari serbuk atau
kotoran, maka bulir padi tersebut dimasukkan ke dalam karung untuk kemudian
diolah lebih lanjut.
7)
Walah woja;
artinya: menjemur padi. Dalam proses menjemur padi, dilakukan dalam beberapa
tahap yakni: tahap pertama yakni menjemur padi yang baru dipanen dengan tujuan
agar tidak berjamur. Sedangkan tahap selanjutnya adalah menjemur padi sampai
garing sehingga mudah untuk ditumbuk atau digiling. Hal ini biasanya dilakukan
sebanyak tiga atau empat kali untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
8)
Lansing;
artinya: menyimpan padi di dalam kotak penyimpanan padi. Setelah padi kering,
maka langkah selanjutnya adalah menyimpan padi di kotak penyimpanan padi
(lansing). Jadi, padi yang telah di jemur tidak langsung di giling, melainkan disimpan
di kotak penyimpanan, lalu jika diperlukan baru diambil secukupnya sesuai
keperluan untuk di giling atau di mol dan kemudian dikonsumsi.
c. Akhir Upacara
Sebagai
akhir atau penutup dari upacara nongko
gejur, ada beberapa acara yang
dilaksanakan setelah semua hasil panen dikumpulkan. Acara tersebut antara lain:
1. Mut numpung; Mut artinya hangat dan numpung artinya makanan atau bekal. Jadi
mut numpung adalah padi yang telah
berada di tempat yang hangat dan teduh atau aman (telah disimpan). Maksud dari mut numpung adalah upacara yang
dilaksanakan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) karena selalu menyertai dari
awal, mulai dari proses menabur bibit sampai pada waktu padi disimpan di kotak
penyimpanan dan sekaligus meminta jika padi tersebut dimakan, maka akan membawa
kesehatan dan kekuatan untuk bisa mengolah sawah atau kebun. Acara ini biasanya
dilaksanakan di rumah masing-masing dan dipimpin oleh kepala keluarga atau
orang yang lebih tua dengan memegang seekor ayam jantan berwarna putih (lalong bakok), sambil mengucapkan doa (tudak) sebagai berikut:
“Kerja gaku one uma, o hasil ga, o laku sau ga, se mut ga. Ho laku manuk
te mut numpung”.
Artinya:
“Usaha
saya di kebun, inilah hasilnya, telah saya kumpulkan, dan sekarang berada di
rumah. Ini! Saya kurbankan seekor ayam”.
Setelah doa (tudak) diucapkan,
ayam tersebut disembelih. Setelah dibakar, diambil hati dan bagian dada dari
ayam tersebut untuk dipersembahkan kepada para leluhur. Menurut kepercayaan
masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, bagian hati dan dada
merupakan bagian inti. Maksudnya adalah mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan
atau para leluhur. Dalam acara ini, biasanya dikurbankan seekor ayam jantan
berbulu putih (manuk lalong bakok).
2.
Peresmian atau pembuka untuk memakan beras pertama atau
padi baru.
Dilaksanakannya
acara mut numpung dan pelong latung, sudah merupakan suatu
peresmian untuk memakan beras pertama atau padi baru. Oleh karena itu dalam
peresmian untuk memakan beras pertama, hanya diawali dengan doa bersama yang
dipimpin oleh kepala keluarga (ayah) di rumah masing-masing keluarga.
B. Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Upacara
Nongko Gejur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, maka penulis
mengemukakan beberapa nilai yang terkandung dalam upacara nongko gejur, yakni antara lain sebagai berikut:
1.
Nilai Edukasi
Bagi masyarakat suku Kolang, upacara
adat yang selalu dilaksanakan seperti upacara nongko gejur memberikan nilai yang mengajarkan kepada kita tentang
cara bersyukur, cara makan, cara berpikir dan bertindak sesuai dengan aturan
dan norma yang berlaku. Borgias Bero (65: 11 Mei 2011, tokoh masyarakat) megungkapkan:
“anak ine wai neka ghang nakeng manuk ata
ba de ru, anak ata rona neka ghang nuru ela ata ba de ru; jaga boto nangki”.
Artinya: anak perempuan tidak boleh makan daging ayam yang dibawanya, anak
laki-laki tidak boleh makan daging babi yang dibawanya; awas tertimpa bencana
atau mala petaka. Maknanya:
buah tangan yang kita bawa saat mengikuti upacara tidak boleh dimakan oleh yang
membawanya.
2.
Nilai Gotong Royong
Dalam hal menyelesaikan suatu
pekerjaan seperti dalam mengelola lahan pertanian maupun perkebunan, masyarakat
Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang melakukannya secara bergotong royong
sehingga mempermudah dalam penyelesaian sebuah pekerjaan. Nilai gotong royong
ini telah tertanam kuat dalam diri masyarakat suku kolang karena dipandang
sebagai suatu yang baik dan mempunyai arti atau nilai yang bermanfaat.
3.
Nilai Spiritual.
Spiritual merupakan segala sesuatu
yang berkaitan dengan tubuh dan timbul dari spirit (semangat) atau roh (gaya
elastisitas hidup). Spiritual dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh rasio (akal dan imajinasi daya akal). Masyarakat suku Kolang
percaya akan adanya Tuhan (Mori’n)
yang menciptakan dan memberikan kesejukan dan ketenangan serta memelihara dan
menumbuhkan. Tempatnya tinggi jauh di atas langit. Tuhan digambarkan sebagai
pusat matahari dan bulan sehingga disebut Mori’n
Ata Jari Dedek (Tuhan Sang pencipta). Masyarakat suku Kolang juga
mempercayai arwah para leluhur dan orang yang telah meninggal. Mereka percaya
bahwa orang-orang yang telah meninggallah yang tempatnya lebih dekat dengan
Tuhan, sehingga masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang
melaksanakan upacara dan memberikan sesajian kepada para leluhur. Bukan berarti
bahwa masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang menyembah berhala,
melainkan mereka menyampaikan ujud atau permohonan kepada Tuhan melalui para
leluhur dan orang yang telah meninggal yang tempatnya lebih dekat dengan Tuhan.
Dengan kata lain para leluhur diminta tolong sebagai perantara untuk
menyampaikan ujud permohonan kepada Tuhan (mediator). Upacara nongko gejur memiliki ketaatan dan
kesetiaan terhadap para leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tergambar
dalam persembahan atau sesajian sebagai wujud hasil alam dan hasil bumi yang
telah diperoleh. Selanjutnya upacara nongko
gejur dilaksanakan sebagai wujud kewajiban moral yang wajib dijalankan
karena memalui upacara tersebut, kehidupan sosial masyarakat dapat terjalin
antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya.
Borgias Bero (65: 11 Mei 2011, tokoh
masyarakat) mengungkapkan: “Mori Jari
Dedek, tana’n wa awang eta’n, pukul par’n agu kolep, ulu’n le wai’n lau”.
Artinya: “Tuhan Sang Pencipta, tanah di bawah, langit di atas, terbit di Timur,
terbenam di Barat, kepala di Utara, kaki di Selatan”. Maknanya: masyarakat suku
Kolang percaya bahwa Tuhan yang menciptakan segalanya dan Tuhan pula yang
mengatur dan merencanakannya. Segala sesuatu yang diperoleh manusia adalah
menurut kehendak Tuhan, sehingga masyarakat suku Kolang melaksanakan upacara nongko gejur untuk mensyukuri segala
hasil yang diberikan Tuhan yang akan di panen. Nilai spiritual merupakan hal
yang sangat penting sehingga perlu diterapkan dalam pembentukan moral. Nilai
spiritual berfungsi sebagai pengatur kehidupan manusia, yaitu: memberikan moral
kepada manusia dalam beribadah kepada Tuhan, memberikan pedoman kepada manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, membantu memecahkan persoalan yang tidak dapat
dijangkau oleh manusia, memberikan ketenangan jiwa dan ketabahan kepada
manusia, menghindari manusia dari perilaku yang menyimpang, mempererat persaudaraan
terutama antar pemeluk agama.
Nilai spiritual ini ada dan berkembang dalam keluarga dan dikembangkan
pada kehidupan masyarakat, karena dapat memberikan nilai kepada setiap
masyarakat tentang mana yang baik dan yang tidak baik sehingga dapat tercipta
suasana yang harmonis baik antara sesama manusia maupun antara manusia dengan
Tuhan.
4.
Nilai Normatif.
Dalam kehidupan masyarakat Manggarai khususnya masyarakat
suku Kolang, terdapat norma-norma yang mengatur pola hidup masyarakatnya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Upacara Adat dalam kaitannya dengan pertanian harus
dilangsungkan pada musim tanam dan musim panen. Upacara dilakukan di titik
pusat tersebut dengan mengorbankan babi atau ayam. Jika seorang tidak
melakukannya, maka akan dikenakan sanksi adat dan dalam kurun waktu tertentu
dia menjadi orang yang tidak beruntung seperti hasil panen gagal atau
tanamannya dimakan oleh hama.
5.
Nilai Demokrasi.
Nilai demokrasi dalam upacara nongko gejur dapat dilihat dari sistem
pemerintahan adat masyarakat Manggarai khususnya masyarakat suku Kolang, di
mana posisi tua adat dalam memimpin suatu musyawarah bukanlah segala-galanya,
tua adat tidak boleh semena-mena dalam memimpin, segala kebijakannya harus
dimusyawarahkan karena tetap melibatkan seluruh masyarakat yang ada dalam
wilayah adatnya. Dalam suatu musyawarah, tua adat dapat dikatakan sebagai
penengah saja sedangkan hasil keputusan diambil dari musyawarah yang melibatkan
seluruh masyarakat adat.
6.
Nilai Kekerabatan.
Upacara nongko
gejur merupakan salah satu cara yang dapat membina dan membangun
kekerabatan. Wujud dan nilai kekerabatan dengan sangat indah dilukiskan dalam
ungkapan yang paling terkenal masyarakat Manggarai adalah lonto leok (lonto artinya
duduk, leok artinya bersama-sama
membentuk satu lingkaran). Lonto leok
berarti duduk bersama dengan membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari ungkapan
ini, tampak jelas dimensi atau aspek kekerabatan yang dibangun oleh orang
Manggarai satu dengan yang lain. Lonto leok
menggambarkan kesatuan, kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang sangat dalam
satu dengan yang lain. Dalam upacara nongko
gejur ini terungkap rasa kedekatan, ikatan batin yang kuat dan mendalam
antara orang yang masih hidup dengan arwah nenek moyang. Perasaan kedekatan dan
ikatan batin dengan arwah nenek moyang, akhirnya orang dibawa dan dihantar
serta disadarkan untuk membangun relasi dengan Allah.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil
penelitian yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1.
Proses Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Pelaksanaan upacara nongko gejur dapat dibagi dalam beberapa
tahap antara lain:
a.
Tahap Persiapan Upacara.
Sebelum dilaksanakan upacara, ada
beberapa hal yang merupakan suatu persiapan untuk menyukseskan upacara tersebut
seperti: (1) Musyawarah untuk menentukan pemimpin upacara, hewan kurban dan
persembahan lainnya; (2) Hewan kurban; (3) Persembahan lainnya seperti telur
ayam kampung dan sirih pinang.
b.
Tahap Pelaksanaan Upacara.
Tahap pelaksanaan upacara nongko gejur terdiri dari beberapa paket
acara antara lain: upacara pada saat padi mengetam (ndereh), upacara untuk memanggil arwah dari tanaman yang dibawa
oleh hama (tabar wini) dan panen padi
serta proses pengolahannya.
Dalam pelaksanaan upacara nongko gejur, oleh pemimpin upacara (tua teno) diucapkan doa-doa (tudak) sebagai ujud atau permintaan
dari masyarakat suku Kolang. Doa (tudak)
tersebut menunjukkan bahwa mereka benar-benar percaya bahwa leluhur mereka
menjaga, melindungi, serta membimbing mereka sehingga segala aktivitas berjalan
dengan baik dan memperoleh hasil yang baik pula.
c.
Tahap Akhir
Upacara.
Upacara nongko gejur yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku Kolang
biasanya ditutup dengan beberapa acara seperti: upacara penyimpanan padi dalam
kotak penyimpanan (mut numpung) dan
upacara penyimpanan jagung (pelong latung).
Setelah uapacara tersebut dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara peresmian
untuk makan padi baru.
2.
Nilai-nilai Dalam Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku Kolang memiliki atau
mengandung nilai-nilai sebagai suatu simbol
yang melambangkan eratnya persatuan dan kesatuan masyarakat (nilai
kekeluargaan) serta menunjukkan bahwa masyarakat suku Kolang percaya pada
hal-hal gaib atau dunia tidak nyata (nilai spiritual). Upacara nongko gejur juga merupakan pendidikan bagi
masyarakat (nilai pendidikan) untuk belajar menghargai pemberian Tuhan Sang
Pencipta (Mori Jari Dedek) serta
belajar bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (nilai gotong royong),
menjunjung tinggi norma-norma atau aturan-aturan (nilai normatif), dan
musyawarah untuk mencapai suatu keputusan (nilai demokrasi), sehingga
keberadaannya sangat perlu untuk dipertahankan.
B. Saran
Mengingat bahwa upacara nongko gejur merupakan salah satu
kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang dan
terkandung di dalamnya nilai-nilai yang sangat penting bagi keberlangsungan
hidup masyarakat Manggarai pada khususnya masyarakat suku Kolang, maka sangat
disayangkan jika kebudayaan tersebut lenyap oleh pengaruh perkembangan zaman.
Untuk itu maka penulis menyampaikan beberapa saran demi tetap lestarinya kebudayaan
tersebut, antara lain:
1. Kepada tua-tua adat dan tokoh masyarakat agar perlu
dilakukan proses sosialisasi budaya terhadap generasi muda, sehingga kebudayaan
Manggarai, khususnya upacara nongko gejur
akan terus dilaksanakan dan tidak terjadi penyimpangan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
2. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan pemerintah
setempat dalam hal ini Kepala Desa Tueng, agar perlu mengkaji proses
pelaksanaan upacara nongko gejur
sebagai bentuk penghargaan dan upaya pelestarian terhadap budaya lokal yang
ada.
3. Bagi peneliti-peneliti lanjutan yang berkenaan dengan
kebudayan khususnya upacara nongko gejur,
agar kajian yang dilakukan lebih mendalam lagi.
4. Bagi masyarakat suku Kolang di Desa Tueng, baik orang tua
maupun kaum muda agar tetap melestarikan kebudayaan-kebudayan yang dimiliki,
khususnya upacara nongko gejur agar
kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat diwariskan kepada generasi mendatang,
sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat tetap
hidup dan tertanam kuat dalam pribadi setiap orang serta dapat diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari.